Suku Bajo di Pulau Kabaena Terancam, Lima Fakta Tentang Dampak Tambang Nikel bagi Kehidupan Mereka
- Kamis, 13 Maret 2025

JAKARTA - Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara, yang terkenal sebagai rumah bagi suku Bajo, kini menghadapi ancaman serius akibat maraknya industri pertambangan nikel. Suku Bajo, yang dikenal sebagai "Aquaman" Indonesia karena kemampuannya menyelam dengan luar biasa, kini merasakan dampak buruk dari pertambangan yang semakin merusak lingkungan tempat mereka hidup. Pulau kecil ini, dengan luas 872 km², telah dihantui oleh kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh limbah nikel, deforestasi, dan pencemaran udara. Industri nikel yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan, justru kini membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat Kabaena.
Berikut adalah lima fakta terkait dampak pertambangan nikel bagi kehidupan suku Bajo dan Pulau Kabaena.
1. 75% Wilayah Pulau Kabaena Terbebani Izin Tambang Nikel
Baca Juga
Pulau Kabaena, meskipun memiliki luas yang relatif kecil, yakni hanya 872 km², telah menjadi pusat eksploitasi tambang nikel. Berdasarkan data yang diperoleh, sekitar 75% dari total luas pulau ini telah diberikan izin untuk pertambangan nikel. Ini berarti, sebagian besar wilayah Pulau Kabaena, termasuk kawasan pesisir dan hutan, telah dialihkan untuk kegiatan pertambangan.
Dalam hal ini, terdapat 15 konsesi tambang nikel yang mencakup 655 km² dari total luas pulau tersebut. Sebagian besar konsesi ini juga tumpang tindih dengan kawasan hutan yang seharusnya dilindungi, seperti hutan lindung dan hutan produksi terbatas. Dengan adanya izin ini, nasib ekosistem di sekitar Kabaena berada dalam bahaya besar. Penurunan status kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi pada 2010, yang diputuskan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, membuka pintu bagi semakin pesatnya eksploitasi nikel di kawasan tersebut.
2. Pencemaran Laut dan Kerusakan Ekosistem Pesisir
Suku Bajo, yang sangat bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka, kini terancam oleh pencemaran laut yang parah akibat limbah tambang nikel. Pesisir laut di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, yang terletak di Pulau Kabaena, telah tercemar oleh limbah yang dihasilkan dari kegiatan tambang. Air laut yang seharusnya bersih dan kaya akan hasil alam kini berubah menjadi semburat kuning kemerahan atau hitam akibat limbah batubara dan ore nikel.
Akibatnya, kualitas air di perairan sekitar Pulau Kabaena menurun drastis, membuat nelayan kesulitan untuk menangkap ikan. "Sebelumnya kami tidak perlu berlayar jauh untuk mendapatkan ikan, namun sekarang kami harus berjuang lebih keras dan seringkali pulang dengan tangan kosong," ungkap seorang nelayan Bajo. Kondisi ini semakin parah dengan adanya penurunan kualitas terumbu karang, yang menjadi habitat ikan-ikan laut.
3. Deforestasi dan Kehilangan Sumber Mata Pencaharian
Satu dampak besar dari ekspansi tambang nikel di Pulau Kabaena adalah deforestasi. Hutan yang menjadi tempat perlindungan flora dan fauna kini telah dibabat habis untuk memberi ruang bagi kegiatan pertambangan. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara, sekitar 3.374 hektar hutan di Pulau Kabaena telah hilang antara tahun 2001 hingga 2022. Deforestasi ini mengakibatkan penurunan kualitas air di sungai-sungai dan laut sekitar pulau.
Sebagian besar masyarakat Kabaena yang hidup dari berkebun kini kehilangan lahan untuk bertani. Pada 2013, Pulau Kabaena masih menghasilkan komoditas seperti kopi, coklat, cengkeh, dan jambu mete. Namun, sejak 2018, produksi komoditas tersebut menurun drastis dan lahan-lahan pertanian kini dijual kepada perusahaan tambang. "Kami terpaksa menjual lahan karena tidak ada pilihan lain," ujar salah seorang warga setempat yang kini bergantung pada penjualan lumpur limbah tambang untuk bertahan hidup.
4. Dampak Ekonomi yang Menghancurkan Kehidupan Warga
Tidak hanya merusak alam, industri tambang nikel di Pulau Kabaena juga mengancam stabilitas ekonomi masyarakat. Laporan yang diterbitkan oleh Satya Bumi dan Walhi Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa 82% warga Pulau Kabaena mengalami penurunan ekonomi rumah tangga akibat dampak pertambangan. Sumber mata pencaharian utama masyarakat, seperti menangkap ikan dan bertani, kini terancam hancur akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh tambang.
Warga Pulau Kabaena yang sebelumnya bisa mengandalkan laut dan daratan untuk bertahan hidup kini terpaksa mengais lumpur limbah tambang nikel untuk dijual kepada perusahaan tambang. Ini adalah bukti nyata betapa parahnya dampak ekonomi yang dirasakan oleh suku Bajo dan masyarakat lokal lainnya.
5. Ancaman Kesehatan Akibat Polusi Tambang Nikel
Dampak negatif dari industri tambang nikel di Pulau Kabaena tidak hanya terbatas pada lingkungan dan ekonomi, tetapi juga kesehatan masyarakat. Pencemaran udara akibat debu batubara dan logam berat yang terkandung dalam limbah tambang menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga. Kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) meningkat tajam, terutama di kalangan anak-anak dan nelayan. Beberapa anggota masyarakat juga melaporkan mengalami penyakit kulit, gatal-gatal, hingga infeksi bernanah.
Selain itu, pencemaran air yang mengandung logam berat seperti timbal, merkuri, dan kadmium menciptakan dampak domino yang semakin merusak kehidupan masyarakat. Penurunan populasi ikan dan kerusakan terumbu karang semakin memperburuk kondisi, memaksa masyarakat untuk mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi logam berat. Dampaknya, beberapa warga mengalami masalah kesehatan serius, seperti gangguan ginjal, hati, dan bahkan kanker.
Masa Depan Pulau Kabaena yang Terancam
Pulau Kabaena kini menghadapi krisis lingkungan dan sosial yang semakin parah. Suku Bajo, yang dikenal sebagai penyelam handal dan sangat bergantung pada laut, kini terancam kehilangan rumah mereka. Pencemaran laut, kerusakan hutan, dan degradasi ekonomi akibat pertambangan nikel telah mengubah wajah Pulau Kabaena menjadi tempat yang semakin berbahaya bagi mereka.
Sementara itu, meskipun industri nikel membawa janji kesejahteraan ekonomi, kenyataannya, masyarakat Kabaena merasakan dampak buruk yang sangat besar. Tanpa ada perhatian yang cukup terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial, Pulau Kabaena dan suku Bajo terancam menghadapi masa depan yang kelam. Seperti yang disampaikan oleh Majid Ege, Ketua Lembaga Adat Moronene, sejak 2011, warga Pulau Kabaena sudah menentang keberadaan tambang nikel. Mereka khawatir industri ini hanya akan membawa penderitaan, bukan kemakmuran.

Wahyu
teropongbisnis.id adalah media online yang menyajikan berita sektor bisnis dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
iQOO 13 Smartphone Flagship Harga Terjangkau
- 07 September 2025
2.
Rekomendasi POCO 2025: Hasil Foto Spektakuler
- 07 September 2025
3.
OnePlus Pad 2 Pro, Tablet Android Performa Gahar
- 07 September 2025
4.
Vivo X300 Hadir dengan Layar Perlindungan Mata
- 07 September 2025
5.
Itel A90 Limited Edition, Ponsel Tahan Banting
- 07 September 2025