Jaksa menjelaskan bahwa Firman menggunakan beberapa metode untuk menyamarkan asal-usul uang tersebut, antara lain:
Penggunaan Uang Tunai dalam Jumlah Besar: Firman memanfaatkan uang tunai dalam jumlah besar karena sifatnya yang anonim dan sulit dilacak, memudahkan proses pencucian uang.
Structuring (Pecah Setoran): Firman sengaja memecah sejumlah uang besar menjadi beberapa bagian kecil dan melakukan setoran secara terpisah untuk menghindari deteksi.
Tarik-Setor (Cash In-Cash Out): Firman melakukan penarikan tunai dari rekening dan kemudian menyetorkannya kembali ke rekening lain, biasanya milik bandar, pada hari yang sama. Proses ini dilakukan oleh orang kepercayaan bandar untuk menyamarkan jejak aliran dana.
Atas perbuatannya, Firman didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang mengatur tentang penyembunyian atau penyamaran asal-usul harta kekayaan dari tindak pidana.
Penyitaan Barang Bukti
Penyidikan kasus ini dimulai setelah Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri menyita Hotel Aruss di Semarang pada 6 Januari 2025. Hotel tersebut diduga dibangun dengan dana hasil pencucian uang dari perjudian online. Dalam konferensi pers pada 16 Januari 2025, Brigjen Pol Helfi Assegaf, Direktur Dirtipideksus, menyatakan bahwa uang senilai Rp 103,2 miliar yang diduga merupakan hasil pencucian uang melalui Hotel Aruss telah disita sebagai barang bukti. Uang tersebut berasal dari 15 rekening yang diduga terlibat dalam aliran TPPU.
Peran PT AJP dan FH
Dalam kasus ini, PT Arta Jaya Putra (PT AJP) dan FH selaku komisaris perusahaan tersebut ditetapkan sebagai tersangka. Dari hasil penyidikan, diketahui bahwa FH menggunakan PT AJP sebagai tempat pencucian uang hasil perjudian online. Dana dari situs judi ini ditampung oleh FH dan digunakan untuk membangun serta mengoperasikan Hotel Aruss. Kemudian, hasil dari operasional hotel juga masuk ke kantong FH.
Tanggapan Kuasa Hukum
Ahmad Maulana, kuasa hukum Firman Hertanto, menyatakan bahwa ia belum dapat memberikan keterangan terkait dakwaan tersebut karena belum bertemu dengan kliennya. "Saya harus ketemu klien dulu," ujar Ahmad Maulana saat dihubungi.
Proses Hukum Berlanjut
Kasus pencucian uang yang melibatkan Firman Hertanto dan PT AJP ini masih dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Jaksa Penuntut Umum terus mengumpulkan bukti dan saksi untuk memperkuat dakwaan terhadap tersangka. Jika terbukti bersalah, Firman Hertanto dapat dijatuhi hukuman penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar, sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan industri perjudian online yang marak di Indonesia dan menunjukkan bagaimana praktik pencucian uang dapat dilakukan melalui sektor properti. Penyidik berjanji akan terus mengusut tuntas kasus ini dan mengungkap jaringan perjudian online yang terlibat.
Penyidikan terkait kasus ini masih terus berlangsung. Kami akan terus melakukan penyidikan untuk mengungkap lebih banyak pelaku yang terlibat dalam jaringan perjudian online dan tindak pidana pencucian uang.