Harga Tebu Turun, Petani Jombang Resah

Senin, 01 September 2025 | 09:30:33 WIB
Harga Tebu Turun, Petani Jombang Resah

JAKARTA - Penurunan harga jual tebu kembali menjadi sorotan di Kabupaten Jombang. Para petani yang menggantungkan hidup dari komoditas ini harus menghadapi kenyataan pahit: hasil panen mereka dibeli dengan harga lebih rendah dibanding tahun lalu. Situasi ini membuat banyak petani merasa semakin terjepit karena biaya hidup sehari-hari tidak sebanding dengan pendapatan dari hasil panen.

Jika pada musim sebelumnya harga tebu masih bisa mencapai Rp89.000 per kuintal, kini harga tersebut merosot menjadi sekitar Rp79.000. Angka itu tentu saja jauh dari harapan para petani yang selama berbulan-bulan telah bekerja keras merawat tanaman tebu mereka. Penurunan harga ini tidak hanya berdampak pada pendapatan petani, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan kelangsungan usaha tani tebu di Jombang.

Petani Pilih Jual Putus demi Kepastian

Halim Perdana Kusuma, seorang petani tebu asal Kecamatan Ngoro, menjadi salah satu dari banyak petani yang merasakan langsung dampak turunnya harga. Ia mengaku lebih memilih menjual tebu langsung ke pabrik daripada menggunakan sistem bagi hasil. Menurutnya, pola bagi hasil sering kali membuat petani tidak memiliki kepastian waktu penerimaan pendapatan.

“Saya memilih jual langsung ke pabrik. Meski harganya turun, setidaknya uangnya bisa langsung diterima untuk menyambung kebutuhan sehari-hari. Kalau bagi hasil, hasilnya bisa tidak jelas kapan turunnya,” ujar Halim.

Pernyataan ini menggambarkan keresahan sebagian besar petani yang kini lebih mengutamakan kepastian pemasukan ketimbang berharap pada pola lama yang dianggap tidak transparan. Dengan kondisi harga yang turun, mereka membutuhkan dana cepat untuk menutupi kebutuhan rumah tangga dan biaya usaha tani berikutnya.

Respons Pemerintah Daerah

Menanggapi keresahan tersebut, pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian Kabupaten Jombang memastikan bahwa proses penyerapan gula sebenarnya masih berjalan. Kepala Dinas Pertanian Jombang yang diwakili oleh Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan, Perkebunan, dan Hortikultura, Budi Santoso, menjelaskan bahwa di Jawa Timur, gula hasil produksi tahun ini sudah mulai diserap pasar.

“Di Jawa Timur, gula produksi tahun ini sudah terserap sekitar 20 ribu ton. Tinggal menunggu proses pembayaran,” terangnya.

Meski begitu, Budi tidak menampik bahwa pengalaman buruk tahun sebelumnya, ketika penyerapan hasil panen sempat tersendat, membuat sebagian besar petani masih menyimpan kekhawatiran. Ketidakpastian pembayaran di masa lalu mendorong banyak petani memilih sistem jual putus.

“Karena pengalaman sebelumnya, banyak petani memilih jual putus. Saat ini harga tebu memang turun dan bervariasi, tergantung kualitas serta pabrik penerimanya,” jelasnya.

Kekhawatiran Petani Semakin Meningkat

Fakta bahwa harga tebu turun bukanlah masalah sederhana bagi masyarakat tani di Jombang. Selain biaya produksi yang tinggi, kebutuhan rumah tangga petani juga terus meningkat seiring dengan naiknya harga bahan pokok. Dalam kondisi seperti ini, turunnya harga tebu jelas menjadi pukulan berat.

Petani harus menghitung ulang biaya operasional, mulai dari bibit, pupuk, hingga tenaga kerja. Dengan harga jual yang menurun, margin keuntungan semakin tipis, bahkan ada yang merugi. Tidak sedikit petani yang terpaksa mengurangi luas tanam di musim berikutnya karena keterbatasan modal.

Di sisi lain, pabrik gula sebagai pihak penerima juga memberlakukan variasi harga sesuai kualitas tebu yang disetorkan. Hal ini membuat sebagian petani merasa tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Petani hanya bisa menerima harga yang ditentukan karena kebutuhan akan dana mendesak lebih besar daripada keinginan menunggu harga membaik.

Harapan Akan Perubahan

Meski dalam kondisi sulit, para petani berharap adanya kebijakan yang lebih berpihak kepada mereka. Dukungan dari pemerintah daerah dan pusat sangat dibutuhkan, tidak hanya sebatas penyerapan hasil, tetapi juga jaminan harga yang stabil agar petani dapat terus menanam tebu dengan rasa aman.

Keberadaan industri gula di Indonesia sebenarnya sangat bergantung pada petani. Namun tanpa harga yang memadai, regenerasi petani tebu bisa terancam. Banyak generasi muda yang enggan melanjutkan usaha orang tua mereka karena dianggap tidak menguntungkan.

Pemerintah perlu menyiapkan strategi jangka panjang untuk menstabilkan harga, memberikan insentif kepada petani, sekaligus meningkatkan produktivitas melalui teknologi pertanian. Dengan begitu, petani tidak lagi menjadi pihak yang paling dirugikan dalam rantai industri gula.

Terkini